Jangan Hapus Penulisnya Jika Copas Tulisan
Tidak layak pula memotong gambar (crop) untuk menghilangkan penulis atau pembuat gambar. Agama Islam mengajarkan agar kita menghormati sebuah tulisan
1) Ilmu lebih berkah jika dinisbatkan kepada penulisnya
Ulama berkata,
من بركة العلم عزوه إلى قائله
“Di antara keberkahan ilmu yaitu menisbatkan ilmu kepada yang berkata/penulisnya”
2) Mencantumkan penulisnya termasuk bentuk amanah Ilmiah
Tentu ada perasaan “sesuatu” jika tiba-tiba tulisan kita menyebar tanpa ada tulisan penulisnya, walaupun hikmahnya di sisi lain kita senang karena bisa lebih ikhlas.
Jika kita tidak suka diperlakukan demikian, maka jangan memperlakukan saudara seperti demikian juga [1]
Bahkan ada kasus di mana penulis aslinya dituduh sebagai plagiat dan memcontek tulisan orang lain
3) Mencantumkan penulisnya juga memudahkan untuk klarifikasi dan memberikan masukan kepada penulisnya jika ada kesalahan atau masukan
Terlebih masalah agama yang jika salah maka dampaknya bisa berbahaya dan perlu dikoreksi. Ulama menjelaskan bahwa dosa terbesar bahkan di atas kesyirikan adalah berkata-kata atas nama Allah (atas nama agama) padahal dia tidak mengetahui dan salah [2]
4) Jika tidak tahu penulisnya, sebaiknya tuliskan keterangan anda meng-copas, sehingga tidak disangka anda penulisnya
Lebih baik lagi tuliskan doa kebaikan kepada penulisnya
misal “semoga berkah bagi penulis tulisan ini”
5) Tindakan sangat tidak terpuji jika mengaku-ngaku tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri atau melakukan plagiat/pembajakan
Selebihnya silahkan baca tulisan kami mengenai cara menunaikan amanat ilmiah:
Demikian semoga bermanfaat
@Masjid Raya Sumbawa Besar
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
Catatan kaki:
[1] Perlakukan saudaramu sebagaimana kita ingin diperlakukan,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ﻻَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺤِﺐَّ ﻷَﺧِﻴْﻪِ ﻣَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”.(HR. Bukhari)
[2] Berikut urutan besarnya dosa sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan [1] perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan [2]perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)[3]mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan(mengharamkan) [4] mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu).“ (Al A’raf: 33)”
Mengapa dosanya di atas dosa kesyirikan? Karena dosa syirik sumbernya adalah berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu.
Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan ayat mengatakan,
فرتب المحرمات أربع مراتب، وبدأ بأسهلها وهو الفواحش، ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم، ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه، ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم، وهذا يعم القول عليه سبحانه بلا علم في أسمائه وصفاته وأفعاله وفي دينه وشرعه
“Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.”[I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1411 H, Asy-Syamilah]
Artikel asli: https://muslimafiyah.com/jangan-hapus-penulisnya-jika-copas-tulisan.html